PLURALISME MENGUNTUNGKAN KRISTENISASI

6 03 2010

Jarang Kita sadar bahwa sikap ngotot dan pertentangan dalam agama di
Indonesia merupakan buah yang ditanam seabad yang lalu saat Ordonansi
Guru, Beslit Rahasia Gubernur Jenderal dan peraturan lain yang
bersifat sektarian diterapkan di Indonesia oleh Si “Bottar Mata”
Belanda.

Pergulatan dan emosi saling mengunggulkan dipelihara belanda dan
sayangnya dibudidayakan oleh bangsa Indonesia sendiri yang selama ini
teracuni oleh kebijakan sektarian tersebut. Bahkan oleh mereka,
generasi Indonesia yang hidup paska reformasi.

Peace

Mengenai Kebijakan Sektarian Belanda Lihat :

http://porseauli.blogspot.com/2006/11/politik-agama-penjajah-
belanda.html

http://islamkaro.blogspot.com/2006/11/perkawinan-inses.html

http://porseauli.blogspot.com/2006/11/mazhab-mazhab-di-tn-batak.html

Pada tahun 1849 Asisten Residen Mandailing Ankola berusaha memecah
belah masyarakat Batak dalam kotak-kotak agama, sesuai dengan misi
Devide et Impera dengan menerapkan gagasan untuk memisahkan orang-
orang Batak yang sudah Islam dengan mengkristenkan orang-orang Batak
pelebegu. A.P. Godon yang sudah pensiun sejak tahun 1857 menyatakan
dalam suatu diskusi: “Dalam laporan umum tahun 1849 selaku Asisten
Residen Mandailing Angkola, saya menyatakan bahwa guru agama Kristen
pada saat itu masih bisa bekerja dengan dengan baik. Saya sarankan
agar antara suku Melayu-Batak Islam dan Batak harus dipisahkan dengan
jelas. Metode yang paling baik adalah menyeru orang-orang Batak
pelebegu agar masuk Kristen.” (Lihat O.J.H. Graaf van Limburg Stirum,
hal. 126).

Pada tahun 1889, Gubernur Jenderal pemerintah penjajah Belanda
mengeluarkan surat keputusan rahasia yang menentukan antara lain
bahwa di daerah yang penduduknya tidak memeluk agama Islam, tidak
boleh diangkat kepala desa atau pegawai muslim. Peraturan atau
kebiasaan yang mendukung Islam pun tidak dibenarkan. (lihat: Beslit
Rahasia Gubernur Jenderal No. 1,3 Juni 1889).

Dua orang residen Tapanuli bernama Westenberg dan Barth kemudian
membuktikan bahwa pemerintah kolonial tidak senang melihat perubahan
kepada Islam, bahkan Westenberg memberi contoh memecat kepala desa
yang masuk Islam. Pemerintah penjajahan Belanda menyetujui hal itu
karena sesuai dengan jiwa beslit rahasia 1889 tersebut. (M. C.
Jongeling, Het Zendingconsulaat in Nederlands Indie, 1906-1942,
(Arnheim , 1966) Hal. 112). Namun dukungan penjajah seperti ini tidak
mampu menghentikan kekuatan pribumi yang anti-penjajahan.

Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul,
yang telah menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat
anaknya Syeikh H. Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul
diberhentikan sebagai Kepala Kampung atas dasar beslit rahasia 1889.

Syeikh H Ibrahim melakukan perlawanan dan melakukan aksi politik
dengan menayakannya kepada Dr. Hazeu, Adviseur voor Islandsche zaken.
Alih-alih mendapat tanggapan, laporannya baru resmi diterima enam
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1909. Dr. Hazeu berusaha melakukan
himbauan kepada kekuatan penjajah yang ditolak mentah-mentah oleh
Residen Westenberg dengan penegasan sekali lagi bahwa pegawainya
telah melaksanakan kebijakan yang digariskan pada tahun 1889.

Sikap Residen Westenberg kemudian dipertegas oleh rezim penjajah
dengan pernyataan Frijling, Penasehat Urusan Luar Jawa, untuk
menerapkan kebijakan rahasia tersebut apa adanya.

Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara
Syeikh Ibrahim Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan
kehormatan ayahnya. Namun kali ini tanggapan keras datang dari pihak
penjajah. Dia terbentur tembok dengan adanya surat keputusan dari
pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur
Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan
pengaduan tersebut. (Lihat; “Christelijke Zending en Islam in
Indonesia”, dalam Koleksi GAJ. Hazeu, No. 42, KITLV, Leiden.
Bandingkan dengan Lance Castles, The Political Life of Sumatran
Residency: Tapanuli 1915-1940, disertasi, Yale University, 1972, Hal.
91-93.

Sementara itu, pada bulan Maret 1919, di Janji Angkola diadakan
pemilihan kepala kampung baru. Sekalipun jumlah warga Batak yang
beragama Kristen sebanyak 400 orang, sedang warga Batak yang muslim
hanya 60 orang, namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul yang menang
dalam pemilihan tersebut. Tapi Kontrolir Silindung Heringa
menyarankan agar residen mengangkat Aristarous, bukan Syeikh Ibrahim
Sitompul.

Residen Vorstman sadar dengan instruksi rahasia 1889, kemudian
mengadakan pemilihan ulang, dengan harapan pihak Batak Islam akan
tersudut. Namun ternyata Syeikh Ibrahim Sitompul tetap keluar sebagai
pemenang, dengan suara 218 lawan 204. Residen Vorstman tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Kekuatan anti-penjajahan kali ini berhasil
unjuk gigi.

Dalam pada itu hubungan perdagangan antara daerah Singkel dan Dairi
juga diputus dengan alasan Devide et Impera. Dengan demikian orang-
orang Batak di tanah Batak pusat akan terisolir dan mudah untuk
ditaklukkan.

Asisten Residen Bataklanden dan Residen Tapanuli kemudian melakukan
langkah dengan memisahkan orang-orang Batak di Singkel dengan Dairi.
Hubungan lalu lintas antara Singkel dan Dairi pun diputus. Raja Batu-
batu, seorang Raja Batak Singkel, yang kebetulan seorang muslim
dilarang untuk mendatangi rakyatnya di Dairi. (Surat Residen Tapanuli
Westenberg ke Gubernur Jenderal tanggal 9 Oktober 1909, dalam Koleksi
G.A.J Hazeu). Bahkan sejak tahun 1910 para pedagang Batak Singkel
dilarang tinggal di daerah Batak, maksudnya Keresidenan Tapanuli,
lebih dari 24 jam. (Nota Lulofs 11 Juli 1915, dalam Lance Castle, Hal
94)

Usaha penjajah Belanda untuk mengkotak-kotakkan orang Batak dalam
agama dan teritori agar mudah dijajah juga dilakukan di Silindung.
Pada tahun 1915, Lulofs memberikan instruksi sektarian kepada
bawahannya agar dibuat batas baru di sebelah utara Janji Angkola, dan
politik anti-Islam hanya boleh dilaksanakan di sebelah utara desa
tersebut. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan Agama tanggal
16 Mei 1916, Lulofs menjelaskan bahwa dengan adanya garis pemisah,
maka bisa diadakan tindakan tegas dalam daerah tertutup. Misalnya
dengan menggunakan Ordonansi Guru 1905 untuk menghindari pendidikan
Islam di daerah tersebut. Ordonansi Guru ini memungkinkan penjajah
dapat memburu, mengusir dan mengasingkan guru-guru Batak Islam yang
termasuk para haji-haji dari kalangan Batak.

Namun, pihak zending menentang instruksi- yang dinilai terlalu
menguntungkan Islam- ini. Dan menyatakan keheranannya mengapa sikap
seorang pegawai demikian simpati kepada Islam. Karena menurut mereka
di daerah ini terdapat 15.000 orang Kristen, 3000 orang Batak Islam
dan masih banyak animis yang akan diserahkan kepada nabi palsu.
(Lihat surat Lulofs kepada Direktur BB tanggal 16 Mei 1916).

Terhadap pemisahan daerah Islam-Kristen semacam ini Hazeu tidak
setuju, karena dia tidak membenarkan terjadinya pengusiran seseorang
dari daerah tertutup. Dalam suratnya kepada Direktur Pendidikan dan
Agama tanggal 29 Desember 1916, Hazeu menyatakan, “Saya
memperingatkan dengan keras bahwa Ordonansi Guru tidak boleh
digunakan untuk tujuan mengusir haji sebagaimana dibenarkan oleh tuan
Lulofs” (Koleksi G.A.J.). Namun, pengusiran dan pemburuan tersebut
tetap saja terjadi di tanah Batak

Dalam rangka menghalangi gerak pedagang Batak Islam yang sejak abad
15 telah eksis dan menjadi tulang punggung perekonomian tanah Batak,
khususnya dari marga Hutagalung, Hasibuan, Pasaribu dan Marpaung
serta marga-marga lainnya, Asisten Residen Fraser mengusulkan
dibentuknya koperasi antar sesama orang Batak yang tidak menentang
kehadiran penjajah saat itu, di samping menganjurkan agar peternakan
babi digalakkan di sana. Saran semacam ini pernah dikemukakan pula
oleh seorang tokoh Lembaga Bijbel pertengahan abad lalu, yang
ditujukan kepada propagandis Kristen di tanah Batak.

Dia adalah H.N. vander Tuuk yang pada tahun 1851 sampai tahun 1857
menetap di tanah Batak sebagai petugas dari Lembaga Bijbel. Ia
memberikan beberapa saran, bagaimana seharusnya petugas Kristen
bersikap di tanah Batak, yaitu:

1. Harus disebut Guru, bukan pendeta atau paderi; karena istilah
pendeta kurang disukai, baik orang Eropa maupun orang Batak.
2. Harus kawin dengan wanita Eropa, karena pembicaraan antara wanita
lebih intim dan seorang wanita lebih berpengaruh daripada pendeta
biasa.
3. Harus mendapat gaji yang baik, lebih tinggi dari gaji pegawai
pemerintah.
4. Harus berpakaian seperti biasa, tidak memakai jas hitam pendeta.
5. Harus bisa menerima gaji dengan mudah, tanpa dipotong dua setengah
persen.
6. Langsung masuk daerah Batak, tidak perlu lama-lama menunggu di
Padang agar cepat bisa berbahasa Batak.
7. Harus tinggal jauh dari orang Eropa, karena mereka pada umumnya
tidak akrab dengan pribumi.
8. Dalam taraf permulaan hanya omong-omong, secepat mungkin mengajar
agar bisa cepat belajar bahasa pribumi. Hanya mengajar kalau diminta
oleh mereka.
9. Bersama murid-murid sekolah, harus membaca cerita Batak, baru
kemudian membacakan Bijbel.
10. Harus bergaul akrab dengan orang Batak, tapi jangan meminjam uang.
11. Hendaknya tidak menerima hadiah, karena dia harus memberikan
hadiah.
12. Hendaknya tidak menghina orang Islam, tapi harus menunjukkan
orang kafir sama baiknya dengan orang Islam.
13. Andaikata mengetahui ilmu teknik, harus mengajarkan ilmu tersebut
hanya kepada orang bukan Islam.
14. Sebagai peternak harus memelihara babi.
15. Andaikata mempunyai anak, harus hati-hati agar mereka tidak
menghina pribumi.
16. Dalam pelaksanaan vaksinasi hendaknya jauh dari pengawasan
pegawai, Karena semua pegawai yang beragama Islam, biasa
mengucapkan: “Jangan makan babi lagi” setelah memberikan suatu
suntikan.
17. Hendaknya tidak menggunakan pemadat sebagai pembantu atau murid.
18. Andaikata memiliki toko, dia tidak hanya akan mendapatkan banyak
uang, tapi juga pengaruh yang cukup besar.
Sumber Lihat: R. Nieuwenhuys, H.N. van Der Tuuk: De, Pen in Gal
Gedoopt, (Amsterdam, 1962) hal: 81-84.

Pada tahun 1919, pihak zending mengeluarkan brosur dalam dialek
Angkola berjudul Ulang Hamu Lilu (jangan sesat), untuk memperkenalkan
Islam secara negatif kepada orang Kristen Batak, berdasarkan buku-
buku Gottfried Simons yang biasa menentang Islam.

Gottfried Simons adalah seorang zendeling Jerman yang pernah bertugas
di Sumatera dari tahun 1896 sampai tahun 1907, dikirim oleh RMG
(Rheinische Mission Gesellschaft). Karyanya antara lain;

1. Islam und Christentum im kampf um die Eroberung der
animimistischen Heidenwelt, beobachtungen aus der Mohammedaner-
Mission in Biederlandisch-Indiesn, (Berlin 1910); (Islam dan Kristen
dalam Perjuangan di dunia Animis; Tinjauan zending terhadap orang
Islam di Hindia Belanda).
2. Unter den Muhammedanern Sumatras, (Berlin, 1926).
3. Reformbewegungen in Islam (Artikel)

Akibat brosur tersebut yang menurut Hazeu penuh dengan kebohongan dan
kepalsuan tersebut, timbullah kehebohan, sehingga untuk mengatasinya
brosur tersebut segera disita oleh kontrolir dari rumah zendeling
Jerman, Ameler, di Bungabondar.

Asisten Residen bermaksud memanggil pihak zending ke pengadilan, tapi
Jaksa Agung di Batavia melarangnya. Kemudian pusat Zending di
Tarutung meminta agar brosur yang disita itu dikembalikan secara
resmi.

Pada tanggal 12 Juli 1919 brosur tersebut akan dikembalikan dan pihak
zending mengumumkan hal itu sebelumnya, meskipun sudah diminta untuk
merahasiakannya. Akibatnya timbul kehebohan sehingga zendeling Ameler
meminta agar kontrolir tidak jadi datang, karena sudah memancing
perhatian pelbagai organisasi beribadatan suluk di tanah Batak.

Brosur seharga f.0,15 per buah itu bisa laku f.2,-, (Lance Castle,
Hal 110-112). Selama ini harapan demikian tinggi untuk bisa mengikis
pengaruh Islam dari tanah Batak dengan jalan mempercepat
kristenisasi.

Harapan semacam ini didasarkan atas kepercayaan berlebihan tentang
superioritas Kristen atas Islam dan dugaan bahwa agama Islam yang
sinkretis di negeri ini (seperti parmalim dan agama kepercayaan Batak
lainnya yang mirip dengan Islam sedikit atau banyak) akan mudah
dikristenkan. Banyak orang Belanda terutama pada abad ke-19 yang
berpengharapan demikian (Lihat A. Retif, “Aspect Religiux de
l’Indonesie”, dalam Etudes, 1945, hal 371-381; Harry J. Benda, “The
Crescent and the Rising Sun”, op cit., hal. 19).

Dalam perjuangan kemerdekaan dan pergumulan antara orang Batak dengan
penjajah Belanda di tanah Batak ini nampaklah kesan bahwa di satu
pihak agama Islam berkembang dengan segala kesederhanaannya, sedang
di pihak lain agama Kristen dengan segala kelebihannya ditunjang oleh
para pejabat dan pegawai kolonial pada umumnya. (Aqib Suminto;
Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES).

Cepat berkembangnya Kristen di daerah ini jelas bukan semata-mata
karena “gereja-gereja di sana memiliki semangat missioner yang besar”
seperti pendapat Dr. F. Ukur yang menyatakan bahwa satu ciri gereja-
gereja di Sumatera adalah memiliki semangat missioner yang besar,
sehingga dapat berkembang cepat dalam waktu yang relatif singkat.
Lihat: Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh, XII (Jakarta, 1976), hal. 110.

Dalam laporan tahunannya 1906/1907, Konsul Zending mengakui bahwa
pemerintah penjajahan Belanda sering mendukung aktivitas Kristen;
bahkan kadang-kadang pemerintah meminta kepada zending agar mereka
membuka cabangnya di suatu tempat, seperti di Simalungun tahun 1904
dan Pakpaklanden tahun 1906, dua daerah yang sudah banyak menganut
agama Islam selain animisme. Lihat Laporan ke-25 Algemeene
Nederlandse Zendingsconferentie, 1911, Hal. 80, tentang “De prediking
des zendelings aan de Mohammedanen” atau lihat M.C.Jongeling, op
cit., hal 110).

Agaknya memang perluasan kolonial dan ekspansi agama merupakan gejala
simbiosis yag paling menunjang. Lihat: H. Kraemer, “De Zending en
Nederlands Indie”, dalam H. Baudet, & I.J. Brugmans, op.cit., hal 294.

Karena itu zending Kristen dianggap sebagai faktor penting dalam
proses penjajahan, walaupun tujuan zending hanya rohani. Semua yang
menguntungkan pihak Batak yang Islam di Hindia Belanda berarti
merugikan bagi kekuasaan moril pemerintahan penjajah Hindia Belanda.
Lihat, Alb. C. Kruyt, “De Inlandsche Staat en de Zending”, dalam
Indisch Genootschap, 23 Oktober 1906, hal 98).

Simbiosis ini nampak jelas di tanah Batak. Seorang haji Batak asal
Pangaribuan dilaporkan datang ke Huta Lumban. Ketika enam orang Batak
pelebegu berkomunikasi dengannya dan menyatakan keinginannya masuk
Islam dan zending Muller tidak berhasil memurtadkannya kembali,
Residen Tapanuli memanggil keenam orang tersebut, tetapi mereka tetap
tidak mau keluar dari Islam meskipun diancam akan dibuang. Lihat Buku
Harian zendeling Muller di Toba, Juni 1916. Catatan buku harian
tersebut dikutip oleh Residen Tapanuli dalam suratnya kepada pimpinan
tertinggi penjajah Gubernur Jenderal tanggal 22 Juli 1916 No. 246
(Koleksi G.A.J Hazeu, op cit)

Dilaporkan pula, adanya lima orang Batak Islam, yang menerima
kesaksian syahadat para Batak pelebegu, yang dihukum. Dikatakan,
berdasarkan beslit rahasia 3 Juni 1889 tersebut hal ini memang tidak
bisa dibenarkan. Sebuah beslit yang berusaha menghilangkan Islam
sebagai elemen anti-penjajahan dari tanah Batak.

Mereka dituduh telah menyebarkan agama Islam dan dihukum dengan
hukuman satu bulan, karena tidak menaati peraturan pemerintahan
penjajah Hindia Belanda. Lihat: Surat asisten Residen Bataklanden
Fraser ke Residen Tapanuli, 16 Juli 1916. Gubernur Jenderal lebih
keras dengan memerintahkan penghentian apa yang disebutnya
propagandis Islam tersebut.

Para petani Batak di Sipakpaki Sibolga ada yang dikenakan kerja paksa
sebulan, karena menerima syahadat Islamnya beberapa orang di Huta
Husor. Penduduk Huta Husor bernama Hurlang dikenai hukuman tiga
bulan, karena menyediakan rumahnya untuk acara tersebut. Lihat,
Laporan penelitian anggota Desan Penasehat Hindia Belanda tahun 1917.
(Lihat Lance Castle, op cit., hal 101).

Dalam menghadapi masalah sosial yang timbul, sikap para pejabat
penjajah Belanda nampak jelas memihak zending. Residen Tapanuli
mengakui bahwa sikap netral di bidang agama akan berakibat gagal
totalnya zending di daerah ini. Sebaliknya kemengangan kristen pasti
terwujud, bila dibantu sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda.
(Lihat: Surat Residen Tapanuli kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz
tanggal 31 Maret 1909. Ia menyatakan; Kita boleh memilih antara
netral seratus persen terhadap agama dengan hasil pasti menurut
matematika bahwa pekerjaan zending akan gagal total, dan lambat atau
cepat seluruh daerah Batak akan masuk Islam. Atau membantu sepenuhnya
kepada zending untuk menghindari propaganda Islam di daerah Batak.
Dengan demikian kemenangan Kristen di daerah ini pasti terwujud.
Andaikata pemerintah bersikap netral, akan berakibat seperti di
daerah padang Sidempuan. Walaupun zending di sana cukup rajin di
antara penduduk yang waktu itu masih pelebegu namun Islam ternyata
menang di Mandailing, Angkola dan sebagian besar Sipirok. Justru
pegawai-pegawai kita memegang politik nonintervensi (Koleksi G.A.J
Hazeu, op. cit,. Hal 102).

Gubernur Jenderal kemudian memerintahkan agar pegawai pemerintah
penjajah Belanda, kapanpun dan dimanapun tidak memihak penduduk
muslim; sebaliknya secara moril harus membantu dan mendukung zending.
Sementara itu, peraturan rahasia itu ditambah lagi dengan satu
artikel yang berbunyi; “Orang Kristren (yakni pribumi sebagai objek
yang dijajah) tidak harus melakukan kerja paksa pada hari Minggu.”
Lihat: M.C. Jongeling, op cit., hal 114-115.> >


Actions

Information

Leave a comment